Lika Liku yang Dialami Budha Dalam Mengupayakan Pengakuan

Lika Liku yang Dialami Budha Dalam Mengupayakan Pengakuan – Kurang lebih semacam yang terjalin pada Hinduisme serta Konghucu, Buddhisme—atau‘ agama Buddha’ begitu juga diucap di Indonesia—mengalami gairah tertentu buat menemukan‘ rekognisi’ dari penguasa Indonesia.

kagyu-asia – Pada dini kebebasan, serupa semacam agama Hindu serta Konghucu, agama Buddha belumlah mempunyai perwakilan di Departemen Agama. Sampai tahun 1950- an, terkini Islam, Kristen, serta Kristen yang diakui oleh negeri.

Dari kenyataan asal usul yang simpel ini saja kita dapat lekas mengenali kalau pemapanan 6 agama yang‘ diakui’ bukanlah terjalin sedemikian itu saja dengan cara alami, namun mengaitkan perundingan politik serta kedekatan daya. Apa yang melatari seluruh ini? Artikel ini hendak dengan cara kilas meninjau asal usul Buddha dari semenjak era medio sampai menemukan rekognisi di masa Indonesia modern.

Keruntuhan Majapahit Sampai Komunitas Teosofi

Sampai dekat abad- 14, agama Hindu serta Buddha sedang memimpin beberapa besar area Nusantara. Iem Brown, dalam tulisannya The Revival of Buddhism in Modern Indonesia( 2003), berkata kalau mulai era 14 warga Buddha mengalami lawan dari para dai Islam yang sudah memijakkan kaki di tanah Sumatera.

Baca Juga : Sejarah Candi Borobudur yang menjadi Sentral Peribadatan Agama Buddha

Karel Steenbrink pula melukiskan kalau pada era itu perihal yang serupa terjalin pula di Jawa dampak datangnya para orang dagang Orang islam yang masuk melalui pantai- pantai utara Jawa.

Pada abad- abad setelahnya, dampak bertambah meluasnya pengikut Islam, komunitas Buddha terpinggirkan ke desa- desa. Kerajaan Islam Demak, selaku kerajaan Islam awal di Jawa, berkontribusi besar di dalam runtuhnya patron politik dari Buddha dengan tumbangnya kewenangan Hindu- Buddha, Majapahit, pada 1527 sehabis beratus- ratus tahun jadi daya berkuasa di Jawa.

Sehabis Majapahit ambruk serta disusul dengan datangnya kalangan kolonial, lanjut Iem Brown, adanya Belanda ikut memudarkan Buddha selaku salah satu agama yang dianut oleh warga Nusantara.

Belanda cuma membenarkan 2 agama, Islam serta Kristen. Bagi Brown, Belanda dikecualikan Buddha selaku agama sebab pengikutnya yang sedikit. Seperti itu kenapa Buddha terus menjadi termarjinalkan. Pada kesimpulannya, Buddha nyaris tidak nampak di Nusantara pada medio abad- 19.

Pada catok kedua abad- 19, sedang bagi narasi Iem Brown, agama Buddha mulai disukai oleh banyak orang Eropa. Bersamaan dengan ketertarikan Barat hendak‘ Kebijaksanaan Timur’( Wisdom of the East) ini, seseorang berkebangsaan Rusia, bernama Helena Petrovna Blavatsky( tahun 1831- 1891) serta seseorang jenderal asal Amerika, bernama Henry Steel Olcott( tahun 1832- 1907), mendirikan suatu perkumpulan yang membaktikan diri pada riset akademik kepada‘ kebijaksanaan timur’.

Perkumpulan ini bernama Theosofical Society. Blavatsky menggantikan ketertarikan bangsa Eropa dikala itu kepada nilai- nilai ketimuran yang dibuktikan dalam bukunya, the Secret Doctrine( 1888), yang dikira selaku novel benih komunitas teosofi.

Dalam novel ini, beliau menguraikan prinsip- prinsip dasar dari anutan teosofi, ialah melestarikan kebijaksanaan kekal yang yang diadopsi dari konsep- konsep filosofis Hinduisme- Vedanta serta Buddhisme.

Komunitas teosofi sukses menarik beberapa warga Jawa, spesialnya di Jawa Tengah, buat berasosiasi. Dari sana berdirilah aksi teosofi awal di Hindia- Belanda yang mulai beraktifitas di Pekalongan pada 1881.

Berkah anutan teosofi itu, bagi Brown, kolonial Belanda tidak membagikan pengawasan berarti atas kebangkitan serta perkembangan kembali pengikut Buddha di Indonesia. Malah sokongan Belanda buat kebangkitan itu berdatangan dari banyak orang Belanda yang dengan cara langsung terpikat pada agama itu ataupun orang Belanda yang jadi badan komunitas teosofi sendiri.

Brown menerangkan kalau kebangkitan kembali Buddha di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari kemajuan komunitas teosofi dari warga lokal, yang pada gilirannya membuka mata Belanda kalau Asia Tenggara, spesialnya Jawa, mempunyai pangkal adat India yang kokoh di era pra- kolonial.

Pemahaman hendak perihal ini menimbulkan sesuatu artikel terkini hendak kultur Jawa- India di era kemudian yang dikira menggantikan bukti diri kebangsaan yang lagi berkembang di area itu. Esoknya, salah seseorang figur berarti yang membawakan Buddha jadi salah satu agama yang diakui negeri berawal dari komunitas teosofi lokal.

Buddha Dalam Usaha Adaptasi

Teosofi sukses mengantar Buddha di Indonesia mengarah kebangkitan kembali serta tanpa represi berarti dari Belanda. Tetapi, sehabis era penjajahan selesai serta Indonesia menyatakan kemerdekaannya, kebangkitan ini menemui jalur tersumbat. Iem Brown dalam ciptaannya yang lain, Contemporary Indonesian Buddhism and Monotheism( 1987), mengatakan kalau Pancasila menghasilkan permasalahan terkini untuk agama- agama non- teistik, tercantum Buddha. Buddha, yang ditatap tidak penuhi standar‘ agama’ dalam uraian monoteis, pada dini kebebasan belumlah diakui selaku agama.

Dilatari kondisi politik yang begitu itu, pengikut Buddha harus mengupayakan agamanya supaya diakui dengan metode membuktikan kompatibilitas anutan Buddha dengan Pancasila.

Adegan mengarah menyesuaikan diri ini diawali pada 1949 kala Perhimpunan Anak muda Teosofi Indonesia mengangkut seseorang delegasi pimpinan terkini, seseorang intelektual generasi Tiongkok yang lahir di Bogor pada 1923, bernama The Boan An.

Satu tahun setelah itu, beliau merangkul agama Buddha. Beliau ialah pemegang daulat awal kepemimpinan Buddha di Indonesia pascakemerdekaan. Pada Desember 1953, The Boan An berangkat ke Burma buat menuntut ilmu Vipassana pada guru khalwat terkenal bernama Mahasi Sayadaw. The Boan An setelah itu ditasbihkan selaku biarawan Theravada di Burma di akhir tahun 1954 serta bertukar julukan jadi Ashin Jinarakkhita.

Walaupun Ashin Jinarakkhita ialah biarawan Theravada, pada faktanya, bagi Hijau tua Rengganiasih dalam tulisannya, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita’ s Interpreting and Translating Buddhism in Indonesian Cultural and Political Contexts( 2012).

Beliau melaksanakan kompromi atas 2 gerakan besar Buddha, ialah Theravada serta Mahayana, yang hendak memengaruhinya dalam merumuskan uraian Buddha yang lemas nanti sehabis beliau memiliki daulat lebih besar dalam komunitas Buddha di Indonesia.

Kala kembali ke Indonesia, Ashin Jinarakkhita mendirikan suatu badan warga Buddha awal di Indonesia yang bernama Perhimpunan Buddha Indonesia( Perbuddhi) pada 1958. Perbuddhi menginisiasi untuk pembangunan wihara- wihara, dan layanan- layanan berhubungan dengan Buddha, artikulasi paritta, serta aplikasi khalwat.

Kedudukan Biksu Ashin Jinarakkhita Pada 1923- 2002

Kembali sejenak pada masa kolonial, imigran Tiongkok serta Belanda amat berkontribusi dalam kebangkitan serta kemajuan Buddha. Sangat kuatnya kekuasaan Islam serta Kristen membuat banyak pengikut Buddha berawal dari luar Nusantara serta pada gilirannya nilai- nilai Perbuddhi didominasi oleh kebudayaan Tiongkok.

Walaupun begitu, begitu juga dinarasikan Brown, Ashin Jinarakkhita banyak mengadopsi wujud Buddhisme yang beliau pelajari serta pahami sendiri dikala di Burma alhasil Perbuddhi di dasar kepemimpinannya setelah itu mereformasi keseluruhan metode banyak orang yang sudah lebih dulu mengamalkan Buddha.

Akhirnya, Perbuddhi kehabisan nilai- nilai kebudayaan Tiongkok yang pada mulanya menempel padanya. Dari sinilah setelah itu terjalin keretakan, antara pihak yang mensupport Ashin Jinarakkhita serta mereka yang pergi dari Perbuddhi, paling utama generasi Tionghoa, serta jadi musuhnya sebab kecewa atas pengurangan nilai- nilai itu.

Baca Juga : Memahami Tentang Mitos Kekerasan Agama Saat Ini

Iem Brown lebih lanjut menggambarkan kalau kulminasi keretakan ini terjalin kala seturut insiden 1965. Penguasa Indonesia memandang antitesis natural buat melawan komunisme merupakan agama.

Sebab Ashin Jinarakkhita serta Perbuddhi telah jadi badan agama yang mapan, walaupun belum diakui penuh, beliau mempersoalkan mantan pendukungnya dengan deskripsi penguasa itu.

Jinarakkhita memandang mereka yang pergi dari Perbuddhi selaku banyak orang yang tidak yakin pada Tuhan. Keterkaitan dari perihal ini yakni penguasa hendak menyangka mereka selaku bagian dari komunisme alhasil wajib diperangi.

Bila Ashin Jinarakkhita melanda rivalnya dengan deskripsi anti- Tuhan, berarti beliau wajib memiliki rancangan ketuhanan dalam Perbuddhi selaku komitmennya kepada negeri yang anti- komunis.

Ashin Jinarakkhita tidak main- main dalam mengonsepsi ketuhanan dalam Buddha, walaupun pada biasanya di banyak bagian bumi lain rancangan mengenai Tuhan tidaklah anutan esensial dalam Buddhisme.

Beliau merekonstruksi uraian Buddha yang baginya hendak relevan dengan hawa Nusantara, ialah Buddha Indonesia. Lewat konsepsi ini, Ashin Jinarakkhita berupaya mengakomodasi semua keyakinan serta aplikasi Buddha yang sudah terdapat di Nusantara semacam pemeluk Buddha Tionghoa yang sinkretis, pemeluk Buddha yang sedang yakin pada Buddhisme Jawa kuno yang misterius, serta pemeluk Buddha yang terpikat pada kemodernan sebab terkini masuk agama Buddha.

Elastisitas Buddha ini, semacam yang dipaparkan tadinya, pergi dari kompromi Ashin Jinarakkhita antara ajaran Theravada serta Mahayana alhasil tidak terpana pada satu gerakan saja. Kareel Steenbrink, dalam Buddhism in Orang islam Indonesia( 2013), menulis kalau Ashin Jinarakkhita berikan sebutan atas uraian terkini itu dengan julukan‘ Buddhayana’ serta mengatakan Buddha Indonesia selaku‘ Buddhisme teistik’.

Inilah setelah itu yang menghasilkan Buddha di Nusantara berlainan dengan Buddha yang terhambur di luar Indonesia, semacam Sri Lanka serta Thailand yang tidak membenarkan sentralitas anutan mengenai keberadaan Tuhan.

Steenbrink mengambil catatan yang di informasikan oleh seseorang Biarawan Sri Lanka, Narada Thera, pada sekretaris Ashin Jinarakkhita, Parwati, kalau“ tidak terdapat Tuhan dalam Buddha.”

Hendak namun, Ashin Jinarakkhita senantiasa pada pendiriannya dengan merespons kalau apa yang di informasikan Narada Thera bisa jadi betul serta relevan buat Buddha di Sri Lanka, namun Buddha Indonesia senantiasa hendak membenarkan keberadaan Tuhan sebab seperti itu yang relevan dengan kondisi Nusantara.

Buat meyakinkan komitmen Buddha kepada Pancasila sekalian menerangkan Buddha Indonesia yang beliau konsepsikan, Ashin Jinarakkhita menimbulkan sebutan“ Si Hyang Adi Buddha” selaku paralel buat rancangan ketuhanan begitu juga diucap di sila awal Pancasila. Beliau merujuk buku Buddha Jawa kuno Si Hyang Kamahayanikan selaku rujukan penting.

Buddha Mengupayakan Rekognisi

Pada 1965, salah satu anak didik Ashin Jinarakkhita yang bernama Dhammaviriya mempublikasikan suatu novel kecil yang bertajuk Ke- Tuhanan dalam Agama Buddha yang bermuatan mengenai prinsip- prinsip anutan Buddha Indonesia, ialah 1) memiliki Tuhan yang Maha Esa, bernama Adi Buddha; 2) memiliki 2 nabi, ialah Gautama serta Bodhisatva; serta 3) memiliki 3 buku suci, ialah Tipitaka, Dhammapada, serta Si Hyang Kamahayanikan.

Lewat novel kecil itu, Perbuddhi seakan akan menerangkan kalau Buddha merupakan agama yang memiliki komitmen kepada negeri serta cocok dengan dasar Pancasila, alhasil pantas buat diakui.

Perbuddhi pula mengkampanyekan prinsip ketuhanan Adi Buddha dengan gelar Namo Sang Hyang Adi Buddhaya untuk menjadikannya berlaku seperti rukun pembuka di masing- masing dari kitab suci yang mereka telah sebarkan ke pengikut- pengikutnya.

Pada 1973, Departemen Agama Republik Indonesia mempublikasikan alih bahasa terkini buku Si Hyang Kamahayanikan. Pengumuman ini terus menjadi menerangkan status Adi Buddha selaku Tuhan agama Buddha serta kalau agama Buddha cocok dengan Pancasila.

Puncaknya merupakan pada tahun 1980 kala Direktorat Spesial Hal Buddha dibangun di Departemen Agama dengan Oka Diputhera selaku ketua awal sampai pensiun pada tahun 1991. Direktorat itu men catat dini mula Buddha selaku salah satu agama yang diakui negeri.

Pemapanan rekognisi kepada agama Buddha, bagi Steenbrink, pula dilatari kebijaksanaan Sistem Terkini yang wajib mengaitkan agama di institusi pembelajaran. Kebijaksanaan ini menuntut Buddha buat menyelenggarakan pembelajaran agama di bermacam tahapan, dari halaman anak- anak sampai pembelajaran besar. Pada 1979, sekolah Buddhayana kepunyaan Perbuddhi telah terhambur di 16 provinsi.

Nampak dari kilas penjelasan asal usul Buddha mencapai pengakuan ini kalau sampai kadar khusus terdapat alih bentuk di dalam komunitas Buddha dampak kedekatan daya yang posisi dominannya dipegang penganut agama- agama monoteistik.

Pola yang kurang lebih serupa sesungguhnya pula bisa kita temui di agama non- teistik lain semacam Hindu serta Konghucu. Permasalahan dalam komunitas yang dikala ini jamak diucap selaku‘ gerakan keyakinan’ apalagi memiliki lebih banyak lika- liku.

Ini seluruh mengarah pada satu disertasi besar yang diucap di wajah artikel ini, kalau apa yang diucap‘ agama( serta keyakinan) yang diakui’ tidaklah sesuatu perihal yang timbul dengan cara alami, melainkan hasilnya dari kontestasi politik.