kagyu-asia.com – Tradisi Popular, Buddhisme Theravada dan Negara. Awal mulanya beliau berdiam di Bangkok, Thailand 2 tahun lamanya di tahun 1950- an kala beliau ditugaskan jadi guru di sekolah Kristen serta suatu universitas kepunyaan suatu vihara di Bangkok.
Semenjak dikala itu serta di durasi sabbatical berikutnya bagus di Thailand, Sri Lanka, Myanmar, Kamboja ataupun Laos, beliau tidak berubah- ubah lalu memantau serta mempelajari Buddhisme Theravada.
Tetapi, pembaca hendak bingung Mengenai estimasi apa di dalam kepala karangan bukunya beliau menorehkan Southeast Asia, meski pastinya Sri Lanka tidak tercantum di dalamnya. Swearer di novel ini menyangka daya agama seperti kalangan neo- strukturalis yang lain.
Dalam pemikiran golongan ini, agama melingkupi serta penuhi strukur kehidupan riil warga tiap hari di seluruh aspek. Pemikiran kalangan neo- marxian serta perkiraan golongan sekular- liberal hendak lunturnya kedudukan agama nyatanya cuma isapan jempol, paling utama bila belum lama memandang bangkitnya Islam, Kekristenan, Hinduisme serta dalam bukunya ini, Buddhisme Theravada di Asia Tenggara serta Sri Lanka.
Nyatanya Buddhisme Theravada saat ini pula lagi menguat di Cambodia, banyak vihara terkini berdiri serta aksi kalangan perumah tangga berkembang produktif di Thailand. Apalagi sebagian bhikkhu( monks) ikut serta aktif dalam bentrokan politik semacam di Sri Lanka serta Myanmar berusia ini( xi).
Baca Juga : Asal Usul Dari Agama Buddha
Sebab itu, tidak salah bila beliau mantapkan, Buddhism as a lived tradition. Buat semata- mata menguatkan kondisi, pemikir struktural- fungsional sejenis Talcott Parsons semenjak mula yakin kalau agama memiliki kedudukan vital di balik terjadinya bentuk dan kebudayaan yang legal di warga.
Dalam kondisi Amerika, beliau mengatakan terdapatnya expressive revolution yang merujuk pada adat- istiadat Kekristenan, paling utama Protestan yang jadi alas untuk bertumbuhnya kebudayaan Amerika serta kebudayaan Barat pada biasanya.
Menyimak perihal ini rasanya pas buat menyamakan dengan keberadaan Buddhisme( Theravada) di area Asia Tenggara. Sebab itu bukanlah kelewatan bila Swearer menguak alangkah kuatnya akibat Theravada dalam adat- istiadat tiap hari, tercantum dalam kaitan rites of passage.
pada gairah rezim serta pula untuk kemajuan pembaharuan di kawasan- kawasan yang didominasi oleh pemeluk pengikut Buddhisme Theravada itu. Swearer dalam bukunya ini memanglah memilah akibat Theravada Buddhisme dalam 3 deskripsi itu ialah adat- istiadat popular, negeri, serta pembaharuan.
Tradisi Popular
Para pemikir Barat semacam Max Weber memandang dalam Buddhisme India dini ada perbandingan runcing antara apa yang disebutnya“ otherworldly mystical” ataupun kebatinan non- duniawi.
Sejenis pengingkaran pada hal duniawi serta sikap duniawi di satu bagian serta di bagian lain tujuan efisien aksi tiap hari dengan diwarnai pelembagaan Buddhisme yang produktif di masa Raja Asoka serta para raja setelahnya di era ketiga masehi.
Tidak berlainan dengan goresan asal usul itu, Buddhisme Theravada di Asia Tenggara belum lama ini pula hadapi perihal seragam. Nyata terpajang tujuan agung dari aplikasi tiap hari semacam keutuhan akhlak, kemajuan mutu diri buat menggapai keluhuran dan beraneka ragam metode buat menggapainya.
Tetapi, di bagian lain Buddhisme pula membagikan pemecahan buat menanggulangi kasus duniawi tiap hari serta menjustifikasi pelampiasan keinginan riil duniawi. Kedua aspek( yang bertentangan) itu bersama tersahkan dalam memo canon Buku Bersih Buddhisme Theravada.
Lalu, Swearer mulai mengurainya. Beliau memandang terdapatnya adat- istiadat popular dalam warga Buddhis di Asia Tenggara. Popular dalam pengertiannya bukan suatu yang tidak sungguh- sungguh, kurang berarti ataupun apalagi jauh dari sempurna, melainkan beliau maknai selaku suatu yang biasa diperoleh, dijalani, serta dimengerti dengan cara konvensional oleh banyak orang yang menyangganya ialah warga Sri Lanka, Myanmar, Thai, Kamboja serta Laos.
Adat- istiadat sangat muncul terpaut dengan akibat Buddhisme Theravada di antara lain merupakan ritus ekspedisi hidup( rites of passage), perayaan- perayaan seremoni tahunan, peristiwa- peristiwa ritual serta pula bergaung dalam sikap.
Susunan insiden itu bisa sekali jalur dimengerti apabila mendatangi vihara( wat) buat mencermati aktivitas- aktivitas itu, kemudian mengikuti anutan Buddhisme dari para bhikkhu ataupun pandita perumah tangga dan memandang narasi yang terpotret dalam seni keimanan serta yang dipamerkan dalam ritual.
Swearer menggarisbawahi kalau sikap Buddhis berfokus dekat pada aksi yang bijaksana serta mendatangkan karma bagus( punna- karma) dan aksi yang mudarat serta mendatangkan karma kurang baik( papa- karma).
Cerita ekspedisi Si Buddha jadi bentuk sempurna, di sisi pula cerita kehidupan saat sebelum jadi Si Buddha yang terbukukan dalam kisah- kisah jatakayang penuh dengan nilai- nilai etika serta keutuhan kebatinan.
Tetapi Swearer pula tidak tertinggal mengatakan terdapatnya penyembahan kepada barang- barang aset bhikhu yang dikira bersih, semacam relic, jimat serta lukisan atau gambar, semacam yang biasa dipraktikkan di Thailand.
Baca Juga : Arti dari apa itu Agama Buddha
Buddhisme Theravada dan Negara
Bertentangan dengan opini Weber dalam Ilmu masyarakat Agamanya yang menaruh Buddhisme selaku“ otherworldly mysticism”, teks- teks Pali dalam Buddhisme malah melaporkan kebalikannya.
Kalau Si Buddha amat dekat dengan golongan raja ketika hidupnya di India bagian utara, perihal itu diamati selaku suatu yang profitabel buat pengembangan viara Buddhis(Buddhist monastic).
Sebab itu lumayan berargumen bila dibilang kalau semenjak dini Sangha Buddhis nyatanya disokong oleh golongan atas sosial, ekonomi serta politik buat alibi sosial, politik serta pula keimanan khusus.
Butuh dicatat pula kalau Pangeran Siddharta berawal dari kategori penguasa, khattiya, serta hikayat mengatakan papa dari Siddharta, para raja dari famili Sakya serta para raja yang lain ketika hidupnya ialah para pendukung agama terkini ini.
Dengan cara biasa bagi Swearer, institusi keimanan serta institusi kerajaan silih mensupport satu serupa lain dalam warga Buddhis. Proteksi kerajaan kepada adat Buddhis berjawab dengan pelembagaan disiplin(loyalty) yang diserahkan pada kerajaan.
Di sisi itu, arsitektur kosmologi keimanan serta mitologi yang memantapkan raja selaku penyemai Agama Buddha dikira amat berarti untuk terciptanya kemesraan serta ketenangan untuk semua negara.
Asoka Maurya dalam adat- istiadat Buddhis dikira selaku chakkavatinatau raja bumi Buddhis dari bangsa Maurya( 317- 189 SM). Tidak hanya mempraktikkan nilai- nilai keluhuran serta kesamarataan, mensupport kemajuan Buddhisme( monastic instruksi), pula dikira mempersonifikasi 10 anutan raja ataupun dasarajadhamma, ialah antara lain dermawan, adib terhormat, dedikasi diri, kebajikan, pengaturan diri, penyabar, non violence, pengasih, serta pengikut norma- norma kebajikan.
Asoka dikira penyatu India serta mengetuai area yang sedemikian itu besar antara tahun 270- 232 SM. Bentuk kepemimpinan Raja Asoka ini setelah itu ditiru para raja dari Pagan( Myanmar) semacam Raja Kyanzittha di era kesebelas Kristen serta pula Raja Tilokaraja dari Chiang Mai( Thailand) di era kelima simpati Kristen.
Berikutnya Buddhisme pula mempengaruhi besar dalam membuat afeksi patriotisme modern di Sri Lanka, Myanmar, Thailand serta Vietnam. Buddhsme pula jadi aspek berarti untuk cara pembangunan kembali Laos serta Kamboja sehabis berakhirnya Perang Vietnam(110).
Tidak mencengangkan bila di negeri semacam Sri Lanka serta Myanmar, Buddhisme bagus langsung ataupun tidak langsung ikut serta dalam antipati penjajahan, penguatan afeksi politik nasional, dan integrasi nasional di dasar kepemimpinan figur dalam negara.
Pengarang ini mengutip ilustrasi perjalianan hidup U Nu yang mengetuai Myanmar di tahun 1940- an sampai 1960- an yang menjodohkan Buddhisme serta sosialisme. Untuk U Nu, komunitas nasional cuma dapat dibentuk bila tiap orang sanggup menaklukkan kemauan pribadinya.
Barang- barang modul tidak berarti wajib ditaruh ataupun dipakai buat kenikmatan individu, namun cuma buat sediakan keinginan hidup dalam ekspedisi mengarah nibbana. Di tahun 1950 U Nu mendirikan suatu badan Agama Buddha(Buddhist Latihan Council) yang bermaksud buat memberitahukan Buddhisme serta pula memantau para Bhiksu.
Di tangan Jendral Ne Win yang mengkudetanya tahun 1962, suasana sedikit berganti. Walaupun Ne Win seseorang Buddhis patuh, namun beliau dengan rezim juntanya nampak berjarak serta ikut serta ketegangan dengan golongan sangha(Buddhist instruksi).
S.W.R.D. Bandaranaike yang tersaring jadi Kesatu Menteri Sri Lanka tahun 1956 pula hampir serupa dengan U Nu. Beliau memanfaatkan simbol- simbol serta daya institusi Buddhisme buat menguatkan letaknya.
Meski ditengarai kehidupan pribadinya tidak seideal selaku atasan Buddhis semacam U Nu, beliau menegapkan agama politik demokrasinya dan metafisika ekonomi sosialisnya proporsional dengan Jalur Tengah(Middle Way) dalam Buddhisme.
Di Thailand membuktikan pertanda berlainan sedikit berlainan selaku negeri yang tidak sempat dijajah Barat. Di dasar kepemimpinan Raja Chulalongkorn( Rama v, r. 1868- 1910), sangha Buddhis diatur dengan cara nasional serta dipandu oleh Supreme Patriach(sangha- raja).
Setelah itu dikenalkanlah pembelajaran vihara yang terletak di dasar pengawasan rezim nasional. Penerusnya, Raja Vajiravudh( r. 1910- 1925), agama serta rezim jadi bersuatu padu yang setelah itu rancangan“ nation”,“ religion” serta“ king” jadi dasar pandangan hidup untuk Thailand modern.